PENDIDIKAN GAYA BANK DAN POLITIK LICIK PENGAJAR
![]() |
Source of Google.com |
Bank
lazimnya dikenal sebagai lembaga tempat penyimpanan uang. Namun, di dunia
pendidikan maka kita juga akan menjumpai istilah Banking Education atau
pendidikan gaya bank sebagaimana yang disebutkan oleh Paulo freire dalam
Pedagogy Of The Oppressed (pendidikan kaum tertindas).
Gaya
bank dalam pendidikan mengibaratkan murid sebagai tempat yang berfungsi sebagai
wadah untuk manabung ilmu oleh guru. Murid hanya sebagai objek dan guru sebagai
subjek pengetahuan yang maha mengetahui segalanya. Ilmu yang diberikan (baca:
dipaksakan) kepada siswa di telan mentah-mentah dan diterima sebagai sebuah
entitas pengetahuan yang mutlak.
Bagi
freire, pendidikan semacam ini telah menghilangkan unsur dialog dalam
pendidikan yang mestinya berlangsung agar anak tersebut dapat memahami realitas
kehidupannya. Anak-anak dicekoki dengan pelajaran yang jauh dari kondisi real
lingkungan hidupnya sehingga menjadikan ia terasing dalam kehidupan sosialnya
dan tidak mampu tampil sebagai pembawa gagasan pembaharuan dalam masyarakat.
Superioritas
dan inferioritas juga akan muncul dengan gaya pendidikan demikian, dimana
pengajar sebagai kelas penguasa dan murid sebagai kelas yang dikuasai. Dengan
begitu segala keputusan mutlak di tangan pengajar dan peserta didik wajib untuk
melaksanakannya. Itulah yang kemudian menjadikan sebagian pengajar untuk terus
menjalankan politik iciknya guna mempertahankan status quo sebagai penguasa
dalam kelas.
Dapat
kita saksikan di sekolah-sekolah, peserta didik menjadi korban akibat adanya
peraturan yang dibuat oleh pengajar dengan ancaman hukuman bagi yang melanggar
meskipun aturan itu dibuat tanpa persetujuan dari siswa yang bersifat menekan
dan wajib dilaksanakan. Hal tersebut berlangsung sampai keperguruan tinggi.
Parahnya di perguruan tinggi, pengajar-pengajar (baca: dosen) akan semakin
memperlihatkan kekuasaanya di dalam kleas. Mari kita lihat!
Disetiap
awal perkuliahan maka mahasiswa akan diberikan sebuah kontrak atau perjanjian
yang akan dijaankan selama satu semester, hal tersebut biasanya disebut sebagai
kontrak perkuliahan.
Perjanjian
tersebut harus dijalankan oleh para mahasiswa dengan seribu macam jenis yang
jika ditinjau lebih kritis tidaklah menyentuh subtansi dari pendidikan, hal
tersebut dilakukan untuk mengekang daya kritis mahasiswa dengan ancaman jikalau
dilanggar atau dipertanyakan mengenai perjanjian tersebut maka nilai akan berkurang
atau malah tidak ada. Anehnya, perjanjian tersebut hanya mengikat untuk
mahasiswa sedangkan untuk pengajar sendiri tidak ada perjanjian yang diikatkan
kepadanya. Padahal seharusnya, pengajarlah yang harus memberikan contoh kepada
muridnya. Misalnya saja, keterlambatan mahasiswa dianggap sebagai suatu
kesalahan yang besar dan dapat berdampak terhadap nilai dan terkadang mahasiswa
menyebabkan dia tidak boleh memasuki mata kuliah dengan tidak mempertimbangkan
alasan apapun. Tetapi rancunya, jikalau dosen yang bersangkutan terlambat atau
malah tidak hadir entah itu karena acara-acara alay tidaklah mendapatkan
konsekuensi apapun alias boleh-boleh saja. Bukankah sudah kewajiaban dosen
untuk datang memberikan pegetahuan tepat waktu dan mahasiswa berhak untuk
mendapatkan pengetahuan sesuai dengan kebutuhannya?.
Potret
pendidikan demikian terkadang disembunyikan akibat banyaknya peserta didik (
utamanya mahasiswa) yang tidak sadar dan lebih memiih untuk mengelap pantat
pengajar (dosen) demi untuk mendapatkan nilai yang “menurutnya” bagus.
Harusnya,
pengajar dapat sadar dengan tanggung jawab subtansialnya didalam pendidikan,
bahwa mereka bukanlah penguasa dan bukanlah orang yang maha mengetahui serta
memegang otoritas penuh didalam kelas. Akan tetapi, mereka adalah kawan
berdialog bagi peserta didik terhadap permasalahan dalam kehidupan dan mencari
solusi bersama.
Hemat
penulis, solusi tepat dalam mengatasi permasalahan pelik tersebut adalah dengan
penerapan problem posing education (pendidikan hadap masalah) yang ditawarkan
oleh Paulo freire, baik pendidik maupun peserta didik semuanya menjadi objek
dalam pembelajaran sehingga akan muncul pembelajaran yang dialogis dan sesuai
dengan realitas kehidupan yang dihadapi oleh siswa. oleh karena itu, harus
lahir freire-freire baru sebagai penggerak revolusi pendidikan di Indonesia.
Penulis: Ahmad Muzawir Saleh
Saya juga mahasiswa, tetapi saya kurang sepakat pada bagian yang menerangkan "jikalau dosen yang bersangkutan terlambat atau malah tidak hadir entah itu karena acara-acara alay tidaklah mendapatkan konsekuensi apapun alias boleh-boleh saja", apalagi dengan kata "acara-acara alay". Menurut saya, apa yang telah penulis buat ini bersifat subjektif. Kalau ingin berbicara konsekuensi terhadap apa yg dilakukan dosen dan mahasiswa, seharusnya diklasifikasikan dulu hak dan kwajiban antara mereka, dan kalau hak dan kwajibannya berbeda, tidak bisa disamakan dong konsekuensi dari apa yang mereka lakukan. Pada dasarnya, Dosen tdk masuk kemungkinan krn ksbukan dlam menunaikan kewajiban lain, krn mereka wajib melaksanakan tri dharma seperti mengajar, meneliti dan pgabdian masyarakat. Jd bukan cuma ngajar kwajibannya. Sementara Mahasiswa tdk bisa ditolerir kalau tidak masuk krn memang basically mereka cuma punya tggung jwab belajar. Hal2 eksternal yg mengklaim mahasiswa punya tggung jwab sbg agent of change, social control dan moral of force itu pilihan individually, krn tdk ada yg menjelaskan scra legitimate bhwa itu wajib. Jadi kemungkinan tidak masuknya dosen atau mahasiswa disebabkan acara-acara alay itu lebih besar dilakukan oleh mahasiswa. Mungkin ada dosen yang memang tidak sibuk karena alasan di luar mgerjakan tangung jawab dan boleh jadi ada juga mahasiswa yang tidak masuk karena kegiatan2 positif yang dia ikuti. Tetapi, tidak bijak kalau kita menjadikan itu sebagai data kemudian menjeneralkan. Karna idealnya, dosen memiliki tugas tri dharma yg seperti yg sy jelaskan td. Jd seharusnya itu menjadi dasar sebelum berbicara mengenai konsekuensi ketika dosen tidak masuk.
BalasHapussaya rasa tridharma perguruan tinggi berlaku bukan hanya kepada dosen. dan saya rasa 3 fungsi mahasiswa memang tidak tercantum dalam peraturan apapun tetapi itu termakna dalam kata mahasiswa. identitas kemahsiswaan kemudian yang harus didasari oleh tiga hal tersebut.. kemudian dosen dan mahasiswa dalam konteks keadilan terhadap konsekuensi maka harusnya kegiatan alay dosen pun harus di kenakan konsekuensi. bagaimana kemudian mahasiswa dicekoki dengan berbagai macam hukuman sedangkan disisi lain dosen hidup seenaknya dan serba mengatur. kan lucu
HapusOleh karenanya, berbicara mengenai kontrak perkuliahan terutama mengenai konsekuensi ketika tidak masuk, menurut saya tetap tidak bijak jika disamakan antara dosen dan mahasiswa, krn pada dasarnya mereka berbeda secara hak dan kwajiban.
BalasHapusberbicara mengenai kontrak perkuliahan harusnya antara dua pihak harus sama2 terikat kontrak supaya ada keadilan, kalau cuman mahasiswa yang terkena kontrak sedangkan dosen tidak, kan tindakan semena-mena dan tak berpripengetahuan
HapusKemudian, poin "baik pendidik maupun peserta didik semuanya menjadi objek dalam pembelajaran sehingga akan muncul pembelajaran yang dialogis dan sesuai dengan realitas kehidupan yang dihadapi oleh siswa". Menurut saya, hal ini sudah terjadi di status quo untuk konteks perkuliahan dimana dosen sebagai fasilitator dan mahasiswa diberikan ruang untuk berkspresi sesuai dengan kemauan mereka selama itu masih dalam batas koridor yg wajar. Jadi apa yg dikemukakan Paulo freire hanya berlaku dalam konteks "siswa", bukan "mahasiswa", jadi tidak bisa disama ratakan.
BalasHapus