PENDIDIKAN DEHUMANISASI (Telaah Atas Situasi Pendidikan)
"Yang aku
temukan, kini pendidikan diisi oleh orang-orang berdasi, bertubuh tegap, dan
bertampang sangar. yang aku temukan: pendidikan kini mahal, ilmunya mahal,
apapun jadi mahal, semuanya serba mahal. Ada yang hilang dari pendidikan"
Manusia
merupakan makhluk yang berakal dan bebas untuk mencari kebenaran serta
pengetahuan. Perjalanan proses pegetahuan akan membutuhkan wadah yaitu
pendidikan. Lewat wadah tersebutlah manusia dapat bersosialisasi dan
beradaptasi dalam budaya yang dianut. Pendidikan dengan kata lain adalah usaha
untuk mempertahankan eksistensi kehidupan.
Memandang posisi
manusia dari seorang Paulo freire, di dunia ini sebagian besar manusia sedang
menderita sedemikian rupa, sedangkan sebagian yang lain sedang menikmati
kebahagiaan hasil jerih payah orang lain dengan cara yang tidak adil. Akan
tetapi, yang menikmati ini justru merupakan kaum minoritas dalam umat manusia.
Persoalan semacam itu disebut freire sebagai “Situasi Penindasan”.
Bagi freire, penindasan
bagaimana pun bentuknya merupakan hal yang tidak manusiawi atau menafikkan
harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi ini berlaku ganda, terjadi pada
kaum yang tertindas dan juga terhadap kaum yang menindas. Kaum tertindas
menjadi tidak manusiawi karena hak-haknya dinistakan dan mereka ditenggelamkan
dalam “kebudayaan bisu”. Sedangkan kaum penindas menjadi tak manusiawi karena
mereka telah menistakan hakekat keberadaan hati nurani dengan melakukan penindasan
terhadap sesama manusia. Mereka-mereka inilah yang merupakan manusia-manusia
kapitalisme.
Menurut marx, kapitalisme
adalah sebuah sistem dimana harga barang dan kebijakan pasar ditentukan oleh
pemilik modal untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam sistem ini,
mekanisme pasar sepenuhnya dikontrol oleh para pemodal dan pemerintah tak
berhak dalam mengintervensi dalam kebijakan pasar. Prinsip mencari keuntungan
ini dapat terjadi dalam dunia pendidikan apabila prinsip tersebut diterapkan
dalam ranah pendidikan.
Mengutip Francis
wahono, Kapitalisme pendidikan merupakan arah pendidikan yang dibuat sedemikian
rupa sehingga pendidikan menjadi pabrik tenaga kerja yang cocok untuk tujuan
kapitalis tersebut. Ini sepakat dengan dengan
Noam Chomsky, bahwa sekarang ini pendidikan kemudian hanya dimaknai
sebagai sebuah jenjang untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak dan
hakikat dari pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai proses untuk menstimulasi
kesadaran kritis dan mengajarkan peserta didik untuk menemukan kebenaran bagi
dirinya sendiri.
Kapitalisme memandang
pendidikan sebagai suatu pembentukan keahlian dan kemampuan dapat mengisi dunia
industri kapitalisme mereka. Mengutip Agus Nuryatno, setidaknya ada tiga dampak
yang dihasilkan dari masuknya kapitalisme dalam dunia pendidikan. Pertama, hubungan antara kapitalisme dan
pendidikan telah menyebabkan praktek-praktek sekolah yang lebih mendukung
control ekonomi oleh kelas-kelas elit. Kedua,
hubungan antara kapitalisme dan dunia pendidikan telah mendorong berkembangnya
ilmu pengetahuan yang hanya bertujuan untuk mendapatkan profit material dibanding
untuk menciptakan kehidupan global yang lebih baik. Ketiga, perkawinan antara kapitalisme dan pendidikan telah
menciptakan fondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nilai korporasi dengan
mengorbankan nilai keadilan sosial dan martabat manusia.
Kapitalisme dalam
pendidikan akan memandang dunia pendidikan sebagai suatu komoditas yang dapat
mendatangkan keuntungan yang besar mengkibatkan berlombanya para pemodal untuk
berinvestasi untuk pendidikan dan membangun institusi-institusi pendidikan yang
megah agar dapat menarik siswa-siswa untuk mendatangkan keuntungan. Karena
dengan seiring berkembangnya pasar modal maka meningkat pula permintaan pasar
tenaga kerja. Inilah yang mengakibatkan begersernya fokus pendidikan yang bukan
lagi sebagai suatu proses transformasi ilmu atau proses pemanusiaan tapi hanya
sekedar mencetak pekerja-pekerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Lebih lanjut dalam
mempertahankan status quo kapitalisme ini maka proses pembelajaran pun harus
dikendalikan, inilah yang disebut freire sebagai pendidikan gaya bank yang akan
semakin membisukan dana mendehumanisasi pendidikan. Dalam gaya pendidikan
seperti ini maka pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana para murid
adalah celengan dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses
komunikasi tapi guru menyampaikan pendapat-pendapatnya dan mengisi tabungan
yang akan diterima, dihafal, dan diulangi
dengan patuh oleh para murid. Inilah senada jika kita menggunakan teori
marx mengenai alienasi dan eksploitasi jika dikaitkan dengan pendidikan.
Alienasi ini bermakna
bahwa orientasi pendidikan akan menyebabkan keterasingan murid terhadap
realitas sebenarnya sehingga akan tercetak manusia-manusia yang pragmatis,
individualistis, apatis, bahkan oportunis, iniah yang kemudian akan tampil
menjadi penindas-penindas baru dimasa depan. Meminjam Paulo freire bahwa system
pendidikan mapan selalu menjadikan anak didik sebagai manusia manusia yang
terasing dan tercabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia
sekitarnya.
Golongan-golongan
penindas inilah yang terus mengeksploitasi segala sumber daya alam maupun
manusia dengan melihat bahwa semua hal tersebut dapat mendatangkan keuntungan
bagi dirinya. Mereka-mereka yang menjadi pemilik modal atau kaum kapitalis
melihat bahwa sector pendidikan adalah salah satus sector pasar bisnis yang
akan sangat bermanfaat untuk menciptakan pekerja-pekerja baru yang akan
memenuhi pasar karyawan di dunia kerja, dengan demikian jika sector pendidikan
dapat dikuasai maka manusianya kaan mudah dibentuk untuk mendapatkan
keuntungan, begitulah cara pandang kaum-kaum kapitalisme. Mereka akan terus
menindas manusia dan melihat manusia sebagi suatu sumber bisnis yang
menguntungkan.
Selanjutnya adalah
mengenai eksploitasi. Dalam perekonomian kapitalis akan cenderung eksploitatif
ketimbang kontributif yang dimana telah menciptakan struktur kelas yang
diidentikkan dengan konflik kelas. Dalam konteks kaum borjuis dan proletariat
ini diartikan sebagai bentuk dari degradasi moral borjuis karena mengesploitasi
kaum buruh demi keuntungan pribadi. Dalam dunia pendidikan, maka untuk
mengakses pendidikan maka hal tersebut bersifat eksklusif sehingga tidak semua
orang mampu untuk mengaksesnya sehingga pendidikan akan dijadikan sebagai
tempat untuk mempertahankan status quo yang akan menimbulkan kesenjangan kelas
baru.
Pendidikan semacam ini
akan memandang peserta didik sebagai seseorang yang dapat diatur dengan mudah
atau dengan bahasa kasanya mereka sama dengan benda. Semakin meningkatnya yang
dapat ditabung maka akan semakin mengurangi pula daya kritis anak didik dalam
memandang realitas dunia sehingga mereka tidak akan terlibat dalam proses
perubahan. Bagi kaum penindas, pendidikan yang humanism merupakan proses untuk
memunculkan kesadaran akan kebebasan kaum tertindas, maka kebebsan kaum
tertindas haruslah diawasi secara terus menerus, inilah yang menjadikan kum
penindas memandang bahwa setiap orang yang ditemunya merupakan benda-benda mati
dan harus dapat dimilika yang berujung terhadap tindakan sadisme. Itulah yang
kemudian dikatakan oleh eroch froom, kesenangan untuk beruasa mutlak atas diri
orang lain sesungguhnya didorong oleh sifat kejiwaan yang sadisti. Dengan kata
lain bahwa tujuan sadism adalah mengubah seorang manusia menjadi sebuah benda,
mengubah yang berjiwa menjadi sesuatu yang tidak berjiwa, karena dengan adanya
pengawasan mutlak dan menyeluruh maka kehidupan kehiangan salah satu
kualitasnya yang mendasar yaitu kebebasan.
Situasi penindasan dan
dehumanisasi tersebut harus dapat dirubah dengan melibatkan kaum tertindas
untuk bangkit dan melawan kaum penindas yang telah memperkosa dan melecehkan
hak-hak mereka serta menghina harkat kemanusiaan mereka. Karena orang-orang
yang tertindaslah yang paling memahami kondisi yang mengerikan yang dilakukan
oleh kaum penindas dan mereka pula lah yang paling merasakan penderitaan akibat
penindasan tersebut.
Akan tetapi, hal yang
menjadi problema kemudian yang dikemukakan oleh freire adalah bahwa dalam tahap
awal perlawanan, maka kaum tertindas bukan hanya mengusahakan pembebasan, akan
tetapi cenderung menjadikan dirinya sebagai penindas baru. Meraka tidak mampu
membedakan bahwa kaum penindas merupakan suatu eksistensi yang berada di luar
mereka sehingga mereka mengambil sikap melekat kepada penindas, ini bukan
merupakan ketidak sadaran kaum tertidas terhadap kondisi penindasannya tapi
mereka telah dibenamkan dalam realitas penindasan.
Dalam mengubah itu
semua maka kaum tertindas harus keluar dari kebudayaan bisu dan bangkit untuk
membuka tabir penindasan dengan cara melibatkan diri dalam proses pembebasan
sehingga akan membentuk suatu system pendidikan yang tak lagi di control oleh
kaum penindas tetapi dapat dinikamati oleh segenap umat manusia sehinggah kebebasan
akan terlaksana dengan baik.
Komentar
Posting Komentar