Hari Natal: Antara Patriarki & Matriarki (suatu refleksi sejarah bunda Maryam)

Source of google.com 

Dalam masyarakat patriarki, suatu catatan panjang menegaskan tentang kekuasaan sang bapak. Patriarki berasal dari bahasa Yunani patér, dengan bentuk genitif patris, dengan akar kata patr yang bermakna “bapak” dan arché yang bermakna “tua” “awal”, atau secara metaforis, “aturan”. Patriarki suatu bentuk otoritas, kekuasaan, pengaturan, neraca moralitas, yang awal mulanya dimulai dari bangunan keluarga. keluarga subsosial yang dikuasai oleh laki-laki (bapak), komponen keluarga terdiri dari laki-laki dan perempuan yang diikat dalam bentuk perkawinan hingga melahirkan suatu predikatif sering disebut; suami dan istri, demikian pun anak yang lahir dari relasi genetik dari dua jenis tersebut. 

Bagi Aristoteles, keluarga memiliki hukum konstitusional, seperti pemimpin dan yang dipimpin. Laki-laki (bapak) lah yang menjadi pemimpin dalam keluarga, ini merupakan deterministik alam semesta antara fisik laki-laki lebih kuat dibanding perempuan, akibatnya perempuan menjadi subjek yang dipimpin. Relasi privat menjadi hak seorang bapak, istri dijadikan sebagai properti, instrumen hanya untuk melahirkan keturunan, pendidik penerus generasi, pada saat yang sama dianggap pula sebagai semacam pembantu rumah tangga, dan pelepas nafsu seksual laki-laki. anak yang lahir dari rahim seorang perempuan yang telah dikandungnya kurang lebih 9 bulan, dalam masyarakat patriarki itu menjadi ikatan privat disfferensia bagi sang laki-laki (bapak). Fenomena yang sering terjadi dan bahkan dipandang sudah menjadi keharusan sosial, misalnya; pemberian nama pada seorang anak akan senantiasa dipredikatkan nama sang bapak. Ini menjadi tradisi dimasyarakat Arab dan sekitarnya, dikebanyakan negara pun berlaku demikian, begitupula di Indonesia. Kita bisa contohkan pada nama Nabi Muhmmad, secara garis keturunan nabi dipredikatkan: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutalib. Ini merupakan penegasan catatan sistem patriarki.

Jika kita semua kembali pada analisis sejarah panjang manusia, antara patriarki dan matriarki, dalam hal ini sebagai disffrensia dari keturunan. Sejarah pernah mencatat bahwa matriarki atau garis ibu pernah menjadi disfferensia bagi anak atau keturunan yang dilahirkannya. Salah satu bukti sejarah tersebut kita bisa kembali pada catatan panjang sejarah Ibunda Maryam, sang ibu dari Nabi Isa Al-Masih yang hari ini merupakan hari perayaan kelahirannya (Baca: Hari Natal). Dalam catatan singkat ini, hanya merefleksikan sesingkat-singkatnya tentang Ibunda Maryam dan Nabi Isa al-masih dalam bentuk narasi analisis matriarki, dimana perempuan pernah menjadi predikat simbolistas bagi keturunan yang dilahirkannya sendiri.

Maryam, sering dipanggil Ibunda Nabi Isa as al-masih. Ia lahir dalam keluarga yang shaleh, ayahnya bernama Nabi Imran dan ibunya bernama Hanna. Nabi Imran keturunan dari Nabi Ya’kub as. Kelahiran Maryam menjadi peristiwa kekecewaan besar bagi mayoritas ummat pada saat itu, karena para ummat demikian menunggu kelahiran juru selamat yang diiamjinasikan sosok seorang lak-laki, karena pada saat itu sistem yang berlaku ialah patriarki. Namun, sebaliknya harapan ummat pada saat itu padam dengan kelahiran Maryam yang merupakan perempuan yang diyakini akan suatu kemustahilan ketika menjadi juru selamat. Waktu masih berada dalam kandungan, ia sudah dinazarkan akan menjadi pelayang dirumah Tuhan (Baca: Kuil Sulaiman). Setelah kelahirannya kemudian Maryam diabdikan menjadi pelayang di rumah Tuhan, dan mendapatkan pendidikan langsung dari pamannya yaitu Nabi Zakaria as. Tumbuh dengan kecerdasan yang banyak melampui kecerdasan para laki-laki pada saat itu, bahkan ia memiliki banyak murid dikarenakan keotentikannya dalam memahami isi kitab samawi.

Keseharian Maryam ia senangtiasa mengisi dengan aktifitas peribadatan, melakukan munajat kepada Tuhan, dan bahkan malaikat Jibril sering sekali menjumpainya dalam munajatnya, memberikan buah makanan kepadanya. Sesewaktu Maryam berada dalam suasana sepi dan Malaikat Jibril mendatangi dan memberikan kabar. “Jibril Berkata, “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci”. Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagimu seorang anak laki-laki, sedangkan tidak pernah seorang laki-laki pun menyentuhku dan aku bukan wanita penzinah”. Malaikat Jibril demikian berkata, menjawab apa yang di kata oleh Maryam dengan senyum dan menawan: “Hal itu, sangat mudah bagi Tuhanmu, dan agar dapat menjadikannya suatu tanda bagi manusia, dan sebagian rahmat dari Tuhanmu, dan itu adalah hal perkara yang sudah di putuskan”.

Maryam demikian pun ia mengandung, ia terusik, mendapatkan cacian dari ummatnya dan keluar dari kampung halamannya. Bayi yang ada dalam rahimnya semaking hari makin besar, dan tibalah saatnya bayi tersebut ingin keluar dari rahimnya untuk melihar cakrawala realiatas alam material yang dipenuhi nilai transendental. Ketika Maryam berjalan ke-kota Galilea Palestina ia merasakan kesulitan berjalan, kesakitan dan ingin melahirkan, ia bersandar pada satu pohon kurma tak melupakan berdoa dan bermunajat kepada Tuhan. Akhirnya bayi tersebut pun keluar meninggalkan rahim ibundanya. Cahayanya yang terang benderang, menerangi alam di sekitarnya. Dan pangkal kurma tersebut terlihat hijau, dan Maryam pun kanget melihat pohon kurma menjadi lebat pelepahnya, bergelenyutan buahnya. Lamat-lamat ia mendengar suara Malaikat: Malaikat pun berkata pada Maryam; “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu maka akan mengugurkan buah yang masak kepadamu. Makan dan minumlah serta bersenang hatilah kamu”.

Nabi Isa as. al-masih lahir dari rahim perempuan yang sangat suci, menjadi titik kebahagiaan bagi Maryam, menjadi juru selamat bagi ummatnya, mengantarkan pada keselamatan surgawi Tuhan bagi ummat yang bertakwa. Ini menjadi suatu fenomena perjuangan besar bagi kaum perempuan dalam sejarah panjang yang harus dikontekstualkan, dengan maksud garis keturunan disfferesnia perempuan pernah terjadi, dalam pemberian identitas nama kepada anak tak meniscayakan atau mengharuskan identitas kebapakan (patriarki) melekat pada anak yang dilahirkan. Nabi Isa as. Al-masih. Mendapatkan julukan disfferensia ketika ia di panggil para ummatnya pada saat itu sebagai Putra Maryam. Dengan nilai penegasan Nabi Isa as. bin Maryam adalah suatu identitas matriarki atau garis keibuan bisa diidentitaskan pada setiap anak yang lahir, patriarki bukan identitas keharusan bagi anak atau keturunan. 

Hari Natal bermakna hari kelahiran Nabi Isa as. suatu prosesi tentang kebahagiaan kelahiran sosok manusia menjadi juru selamat. Tapi, dalam wacana feminisme hari Natal menjadi prosesi refleksi tentang sejarah panjang bahwa matriarki pernah memiliki eksistensi dan diakui oleh ummat terdahulu. Nabi Isa as al-masih senangtiasa direpresentasikan sebagai manusia yang penuh dengan cinta, kasih sayang, dan selalu berkasih kepada ummatnya. Erich Fromm, mengatakan cinta, perhatian benih yang tumbuh dari kasih ibu, lebih dari itu kasih ibu adalah dasar perkembangan humanisme universal. hal ini menjadi dasar paradigmatik matriarki Nabi Isa as. sebagai manusia yang penuh dengan cinta dan kasih, karena ia tumbuh langsung dari bangunan matriarki yang dipenuh dengan belaskasih. Sekian...



Penulis: Upick Baqir

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOPI, BUKU, DAN CINTA

PENDIDIKAN GAYA BANK DAN POLITIK LICIK PENGAJAR

PENDIDIKAN DEHUMANISASI (Telaah Atas Situasi Pendidikan)